jepit
Setelah siap dengan halnya, Danice berlari ke arah taman VE. Jarak rumah ke taman VE tidak begitu jauh, jadi Danice tidak memperlukan kendaraan. Jalan kaki juga bisa.
Waktu sudah menunjukan pukul 10.15 yang berarti Danice sudah telat 15 menit. Padahal Danice sendiri yang menentukan jam bertemu dengan Jaendra, yaitu pukul 10.00.
Tentu saja alasan gadis itu telat karena baju. Dirinya sampai bertanya pada Yesha dan Jiesle saking bingungnya. Percaya lah, Danice sudah berdiri lebih satu jam di depan lemari bajunya.
Tak perlu waktu lama, Danice sudah sampai ke taman VE. Tapi apa? Tidak ada Jaendra disana. Hanya ada para remaja yang sedang asik berpacaran.
“Ah, terus ngapain buru buru kalau dia aja belum dateng??” ocehnya.
Danice duduk di salah satu kursi sambil memandangi bunga bunga di taman VE. Ingin sekali rasanya Danice menelfon Jaendra, tapi karena dirinya dengan Jaendra tidak begitu dekat, jadi Danice terpaksa mengurungkan niatnya itu.
Jaendra sedari tadi menelfon Hesa untuk meminta pendapatnya tentang apa yang harus dirinya lakukan setelah bertemu Danice.
“Terus masa di mobil gue gak ada ngobrol Hes?”
“Ya ada lah, lo misal tanya-tanya gitu, tentang apa aja. Tapi jangan sampe lo nanya sesuatu yang bikin dia risih.”
“Tapi Hes, lo tau kan gue tuh suka tiba tiba ngeblank? Nanti kalo pas gue ngobrol sama Danice tanggepan dia bakal aneh sama gue..”
*“Aduh, lo pokoknya nyamanin diri lo dulu dah, jangan nervous, jangan mirikin yang aneh aneh.”*
“Gue deg-degan banget. Gimana ini Hes?— halo?! ah sialan si Hesa!”
Mau tidak mau Jaendra harus tetap melaksanakan niatnya kemarin. Jaendra melajukan mobilnya ke arah Danice yang sedang berdiri melihat ponselnya.
'Jaendra bisa!'
Jaendra menurunkan kaca mobilnya tepat di depan Danice. Dirinya tersenyum sebari mengatakan “Danice, sini!”
Danice menggeleng, “Lo aja yang kesini!!”
Jaendra mengangguk paham. “Iya iya, oke.” Jaendra keluar dari mobilnya, “Jepitnya ada di mobil dane, mangkanya gue suruh lo jalan ke arah gue.”
Danice menggigit bibirnya, dirinya sudah salah paham sedetik lalu. “Oh, iya..”
Jaendra tertawa pelan, “Yaudah, gue ambil dulu ya. Ntar balik lagi.”
Danice menahan jalan Jaendra dengan tangannya. Gadis itu sudah salah paham, jadi lebih baik dirinya saja yang ikut mendekat pada mobil milik Jaendra. “Gak usah! Bareng aja ya kesananya?”
Jaendra tersenyum, rencananya berjalan lancar. “Sekalian jalan jalan yuk, dane?”