ketemuan
Jaendra benar benar sangat gugup sekarang, perasaannya bercampur aduk seperti sedang disidang oleh guru. Padahal yang akan ia hadapi hanya seorang gadis biasa.
Jaendra kini sudah duduk di cafe sesuai apa yang Danice katakan. Jaendra datang lebih awal karena dirinya tidak ingin membuat Danice menunggu lama.
“Nanti gue harus apa di depan Danice.. mana Hesa gak aktif lagi, ah!”
Baru saja ingin pergi ke toilet untuk menenangkan diri, ponsel Jaendra pun berbunyi.
Ting!
Danice jae lo dimana? gue udah di depan cafe
Jaendra yang melihat notifikasi ponselnya pun mengurungkan niatnya dan segera pergi menuju pintu cafe. Benar saja disana ada gadis dengan baju casual yang sangat cantik, Danice.
“Dane? Gue udah di dalem dari tadi.” Ucap Jaendra.
Danice yang sedang memainkan ponselnya pun langsung menoleh, “Loh? Kirain belum dateng! Tadi gue liat kedalem gak ada lo, tuh!”
“Kirain bakal singkat ngomongnya, ternyata enggak.” batin laki-laki berambut coklat tua itu. “Iya. Gue duduknya diujung, jadinya gak keliatan.”
“Yaudah, duduk yuk Dane.”
Keduanya sudah duduk di meja teucafe, bahkan sudah memesan minuman.
Jaendra berpikir, lebih baik dia tidak berbicara sebelum Danice mengajaknya. Karena Jaendra masih ragu, apakah Danice sudah kembali seperti biasa atau belum.
“Um.. Jae?”
Jaendra mendonggak, “Kenapa?”
“Itu.. gue mau ngomong..”
“Iya Dane ngomong aja, gue dengerin kok.” Ucap Jaendra sebari tersenyum.
Danice mengatur napasnya perlahan sebelum berbicara. “Selama ini yang kirim paket itu.. lo, ya? Dari mulai permen sampai kalung?”
Jaendra hampir sama tersedak saat meminum teh pesanannya, jadi sudah ketahuan ya? Walaupun di kertas kemarin dirinya memberikan kode yang sangat jelas, tapi tetap saja Jaendra masih terkejut.
Mau tidak mau Jaendra harus mengangguk pada Danice. “Iya Dane, gue.”
Danice kemudian menunduk melihat kalung yang ia pakai, kalung yang kemarin hari Jaendra beri. Dirinya tersenyum sambil mengatakan, “Makasih ya. Kalungnya cantik, Jae.”
“Bagus kalau lo suka, kalungnya cocok banget di pake sama lo,”
“Omong-omong tentang masalah kemarin, maaf ya Dane.” Ucap laki-laki itu menatap mata Danice dengan dalam.
Danice tersenyum kecut, “Gue juga minta maaf. Gue tiba-tiba ngilang gitu aja, gue gak mikir ada orang yang nungguin gue.”
Jaendra menggeleng kuat, kenapa malah Danice yang meminta maaf? Seharusnya dirinya, bukan Danice. “Loh kenapa lo yang minta maaf? Dane lo gak salah!”
“Disini yang salah itu gue. Karena gue tiba-tiba ngajak lo berangkat bareng, terus mention lo di akun gue. Gue ngebuat masalah lebih besar. Secara kan gue– ah lo tau lah gimana cewek cewek sama gue kan?”
Danice mengangguk pelan, “Suka.”
“Iya, suka. Jadi pas mereka denger kita berangkat bareng, malah lo yang kena. Gue gak bermaksud, Dane..”
Danice mengangguk, lagi. “Gak, Jae, gak usah merasa terlalu bersalah, gue gak apa apa kok. Lagian pasti ada aja cewek yang merasa seseorang yang dia suka itu harus sama dia, gak boleh sama yang lain. Gue sering denger kejadian kayak gitu.”
Jaendra hanya diam mendengarkan ucapan Danice. Bagaimana pun itu Jaendra merasa dirinya yang bersalah, karena ia lah yang memulai permasalahannya.
“Jae? Udah ah jangan merasa bersalah gitu.. Jaendra yang gue kenal kan gak begini..” Ucap Danice. Pandangan laki laki itu terlihat sangat sayu dan memiliki kantung mata, sepertinya ia kekurangan tidur.
“Mending kita main aja! Tentang masalah kita lupain aja, ya, ya, yaaaa??”