perpustakaan

Entah kenapa rasanya setelah melihat postingan Danice yang sedetik kemudian itu dihapus membuat Jaendra ingin menghampiri gadis itu ke perpustakaan sekolah.

“Gue jalan jalan dulu ya sebelum bel masuk.” Ucapnya pada ketiga teman penyimpan ceritanya, Hesa, Sean, Ascha.

“Alah bilang aja lo mau ke perpus samperin Danice, dikira gue gak tau??” komentar Sean membuat Jaendra tersenyum kecil.

“Ya iyalah, kalo gue lama bilang aja ke gurunya gue sakit.”

Sebenarnya Jaendra tidak terlalu yakin bahwa diperpustakaan ada Danice, bisa saja setelah Danice membuat tweet itu dia pergi ketempat lain, kan? tapi kita lihat saja dulu.

Jaendra memasuki perpustakaan dan tanpa melihat kanan kiri lagi Jaendra langsung pergi ke pojok perpustaan, tempat dimana Danice sedang membaca buku.

Agar terlihat natural, laki laki berambut coklat itu juga mengambil buku dan duduk tepat di sebelah rak tempat Danice berada.

“Huhuhu..”

Suar tangisan dari gadis rak sebelah membuat Jaendra panik, perasaan dirinya tidak berbuat apa apa pada Danice. Bertemu saja tidak.

“Eh? Kenapa?”

Gadis yang ditanya hanya menggeleng tidak menjawab pertanyaan Jaendra, dirinya masih sibuk menangis.

“Oke iya.. tenangin dulu ya nangisnya, gue tungguin.”


“Udah.. Jae..” ucap gadis dengan wajah khas orang habis menangis.

Jaendra mengarahkan pandangannya pada Danice. “Udah atau belum?” dirinya bertanya seakan tau jika Danice masih ingin menangis.

Satu titik air mata itu kembali jatuh. “T-tadi aku baca novel, terus Jaen me-meninggal..” Ceritanya.

Entah dari mana asal keberanian Jaendra, laki laki itu tiba tiba mengusap kepala gadis disampingnya. “Kok bisa gitu sih? Dia sakit?”

Danice mengangguk “Iya, dia ninggalin adeknya yang masih kecil Jae, aku kasian..”

“Adeknya sendiri dong? Yah sedih banget..”

“Iya kan?! Gue gak tega adeknya sendiri, gue mau peluk dia, Jae!”

Jaendra mengangguk mengerti “Adeknya gak bisa dipeluk Dane, jadi sini peluk gue aja “ lanjutnya dalam hati.

Danice menggeleng pelan “Iya, nanti ya Jae.”

“Maksudnya??”