staersnoe

jae, ayo!

Laki-laki berambut coklat kehitaman itu sudah siap dengan motor hitam kesayangannya, pagi ini. Dirinya bahkan sudah bersiap dari jam setengah 5. Tentu saja karena seseorang yang akan ia antar sangat special baginya.

“Kak! Mau kemana pagi pagi ginii?” Tanya Jessie, adik perempuan Jaendra.

“Mau ke sekolah lah dek, ngapain lagi?” Jawabnya sebari membenarkan helmnya.

Sang adik mengerutkan dahinya, lalu pandangan matanya bergerak menuju jam tangan miliknya. “Kan masih jam 6, kenapa cepet banget? Biasanya kan kakak ke sekolah jam 7 lewat.”

Jaendra tersenyum, “Ya adalah, kamu kan tau, Jes.”

Jessie memutar bola matanya, lalu membiarkan kakaknya itu melakukan aktivitasnya.


“Pencet bel gak ya..” Gumam Jaendra.

Jaendra menghembuskan napas pelan, mungkin lebih baik untuk chat Danice saja, lagi pula masih terlalu pagi untuk membunyikan bel.

“Gue kepagian ga sih..?”

Baru saja Jaendra ingin menelpon Hesa untuk meminta saran, Danice sudah membuka pintu rumah dengan seragam lengkapnya.

cantik

“Jae, ayoo!” Panggilnya sebari berlari menuju Jaendra.

“Lo kenapa pagi banget? Untung gue udah bangun, kalo enggak gimana?”

Jaendra tersenyum melihat Danice yang mengomel. Gemes, katanya. “Iya gue sengaja Dane, biar bisa santai nikmatin udara pagi,”

“Mau gak?”

Danice mengangguk ragu, “Yaudah, ayo..”

perpustakaan

Entah kenapa rasanya setelah melihat postingan Danice yang sedetik kemudian itu dihapus membuat Jaendra ingin menghampiri gadis itu ke perpustakaan sekolah.

“Gue jalan jalan dulu ya sebelum bel masuk.” Ucapnya pada ketiga teman penyimpan ceritanya, Hesa, Sean, Ascha.

“Alah bilang aja lo mau ke perpus samperin Danice, dikira gue gak tau??” komentar Sean membuat Jaendra tersenyum kecil.

“Ya iyalah, kalo gue lama bilang aja ke gurunya gue sakit.”

Sebenarnya Jaendra tidak terlalu yakin bahwa diperpustakaan ada Danice, bisa saja setelah Danice membuat tweet itu dia pergi ketempat lain, kan? tapi kita lihat saja dulu.

Jaendra memasuki perpustakaan dan tanpa melihat kanan kiri lagi Jaendra langsung pergi ke pojok perpustaan, tempat dimana Danice sedang membaca buku.

Agar terlihat natural, laki laki berambut coklat itu juga mengambil buku dan duduk tepat di sebelah rak tempat Danice berada.

“Huhuhu..”

Suar tangisan dari gadis rak sebelah membuat Jaendra panik, perasaan dirinya tidak berbuat apa apa pada Danice. Bertemu saja tidak.

“Eh? Kenapa?”

Gadis yang ditanya hanya menggeleng tidak menjawab pertanyaan Jaendra, dirinya masih sibuk menangis.

“Oke iya.. tenangin dulu ya nangisnya, gue tungguin.”


“Udah.. Jae..” ucap gadis dengan wajah khas orang habis menangis.

Jaendra mengarahkan pandangannya pada Danice. “Udah atau belum?” dirinya bertanya seakan tau jika Danice masih ingin menangis.

Satu titik air mata itu kembali jatuh. “T-tadi aku baca novel, terus Jaen me-meninggal..” Ceritanya.

Entah dari mana asal keberanian Jaendra, laki laki itu tiba tiba mengusap kepala gadis disampingnya. “Kok bisa gitu sih? Dia sakit?”

Danice mengangguk “Iya, dia ninggalin adeknya yang masih kecil Jae, aku kasian..”

“Adeknya sendiri dong? Yah sedih banget..”

“Iya kan?! Gue gak tega adeknya sendiri, gue mau peluk dia, Jae!”

Jaendra mengangguk mengerti “Adeknya gak bisa dipeluk Dane, jadi sini peluk gue aja “ lanjutnya dalam hati.

Danice menggeleng pelan “Iya, nanti ya Jae.”

“Maksudnya??”

perpustakaan

Entah kenapa rasanya setelah melihat postingan Danice yang sedetik kemudian itu dihapus membuat Jaendra ingin menghampiri gadis itu ke perpustakaan sekolah.

“Gue jalan jalan dulu ya sebelum bel masuk.” Ucapnya pada ketiga teman penyimpan ceritanya, Hesa, Sean, Ascha.

“Alah bilang aja lo mau ke perpus samperin Danice, dikira gue gak tau??” komentar Sean membuat Jaendra tersenyum kecil.

“Ya iyalah, kalo gue lama bilang aja ke gurunya gue sakit.”

Sebenarnya Jaendra tidak terlalu yakin bahwa diperpustakaan ada Danice, bisa saja setelah Danice membuat tweet itu dia pergi ketempat lain, kan? tapi kita lihat saja dulu.

Jaendra memasuki perpustakaan dan tanpa melihat kanan kiri lagi Jaendra langsung pergi ke pojok perpustaan, tempat dimana Danice sedang membaca buku.

Agar terlihat natural, laki laki berambut coklat itu juga mengambil buku dan duduk tepat di sebelah rak tempat Danice berada.

“Huhuhu..”

Suar tangisan dari gadis rak sebelah membuat Jaendra panik, perasaan dirinya tidak berbuat apa apa pada Danice. Bertemu saja tidak.

“Eh? Kenapa?”

Gadis yang ditanya hanya menggeleng tidak menjawab pertanyaan Jaendra, dirinya masih sibuk menangis.

“Oke iya.. tenangin dulu ya nangisnya, gue tungguin.”


“Udah.. Jae..” ucap gadis dengan wajah khas orang habis menangis.

Jaendra mengarahkan pandangannya pada Danice. “Udah atau belum?” dirinya bertanya seakan tau jika Danice masih ingin menangis.

Satu titik air mata itu kembali jatuh. “T-tadi aku baca novel, terus Jaen me-meninggal..” Ceritanya.

Entah dari mana asal keberanian Jaendra, laki laki itu tiba tiba mengusap kepala gadis disampingnya. “Kok bisa gitu sih? Dia sakit?”

Danice mengangguk “Iya, dia ninggalin adeknya yang masih kecil Jae, aku kasian..”

“Adeknya sendiri dong? Yah sedih banget..”

“Iya kan?! Gue gak tega adeknya sendiri, gue mau peluk dia, Jae!”

Jaendra mengangguk mengerti “Adeknya gak bisa dipeluk Dane, jadi sini peluk gue aja “ lanjutnya dalam hati.

Danice menggeleng pelan “Iya, nanti ya Jae.”

“Maksudnya??”

perpustakaan

Entah kenapa rasanya setelah melihat postingan Danice yang sedetik kemudian itu dihapus membuat Jaendra ingin menghampiri gadis itu ke perpustakaan sekolah.

“Gue jalan jalan dulu ya sebelum bel masuk.” Ucapnya pada ketiga teman penyimpan ceritanya, Hesa, Sean, Ascha.

“Alah bilang aja lo mau ke perpus samperin Danice, dikira gue gak tau??” komentar Sean membuat Jaendra tersenyum kecil.

“Ya iyalah, kalo gue lama bilang aja ke gurunya gue sakit.”

Sebenarnya Jaendra tidak terlalu yakin bahwa diperpustakaan ada Danice, bisa saja setelah Danice membuat tweet itu dia pergi ketempat lain, kan? tapi kita lihat saja dulu.

Jaendra memasuki perpustakaan dan tanpa melihat kanan kiri lagi Jaendra langsung pergi ke pojok perpustaan, tempat dimana Danice sedang membaca buku.

Agar terlihat natural, laki laki berambut coklat itu juga mengambil buku dan duduk tepat di sebelah rak tempat Danice berada.

“Huhuhu..”

Suar tangisan dari gadis rak sebelah membuat Jaendra panik, perasaan dirinya tidak berbuat apa apa pada Danice. Bertemu saja tidak.

“Eh? Kenapa?”

Gadis yang ditanya hanya menggeleng tidak menjawab pertanyaan Jaendra, dirinya masih sibuk menangis.

“Oke iya.. tenangin dulu ya nangisnya, gue tungguin.”


“Udah.. Jae..” ucap gadis dengan wajah khas orang habis menangis.

Jaendra mengarahkan pandangannya pada Danice. “Udah atau belum?” dirinya bertanya seakan tau jika Danice masih ingin menangis.

Satu titik air mata itu kembali jatuh. “T-tadi aku baca novel, terus Jaen me-meninggal..” Ceritanya.

Entah dari mana asal keberanian Jaendra, laki laki itu tiba tiba mengusap kepala gadis disampingnya. “Kok bisa gitu sih? Dia sakit?”

Danice mengangguk “Iya, dia ninggalin adeknya yang masih kecil Jae, aku kasian..”

“Adeknya sendiri dong? Yah sedih banget..”

“Iya kan?! Gue gak tega adeknya sendiri, gue mau peluk dia, Jae!”

Jaendra mengangguk mengerti “Adeknya gak bisa dipeluk Dane, jadi sini peluk gue aja “ lanjutnya dalam hati.

Danice menggeleng pelan “Iya, nanti ya Jae.”

“Maksudnya??”

candy

Dengan wajah malas, Danice melempar ponselnya kesembarang arah dan berjalan menuju ke arah dimana bel rumah berbunyi tanpa henti.

“Ah berisik banget. Iya mas tunggu!!”

Danice merapihkan rambutnya yang sangat berantakan itu dengan kedua jari tangannya.

Danice perlahan membuka pintu rumah dan mendapati mas gojek yang sedang membawa kotak kardus kecil di tangannya.

“Nih mbak, ada yang ngirimin mbak sesuatu buat mbaknya.”

Danice mengerutkan keningnya, memangnya ada seseorang yang mengimkan sesuatu padanya? Perasaan teman temannya tidak ada memberinya pesan tentang pengiriman barang.

“Maaf, siapa ya mas yang kirim?”

Mas gojek menggelengkan kepalanya tidak tahu “Gak tau mbak, si pengirimnya gak kasih tau namanya, cuman bilang dari orang aja mbak.”

“Hah?”

“Iya mbak saya juga gak tau, saya gak ada umpetin apa apa kok mbak.”

Danice menerima kotak itu dengan bingung, “Oh yaudah deh mas, makasih ya.” Danice tersenyum lalu menutup pintu dengan kakinya.

Gadis itu membuka kotaknya setelah melihat note yang berada diluar kotak.

“Ini siapa yang kirim permen sebanyak INI??!!”

jepit

Setelah siap dengan halnya, Danice berlari ke arah taman VE. Jarak rumah ke taman VE tidak begitu jauh, jadi Danice tidak memperlukan kendaraan. Jalan kaki juga bisa.

Waktu sudah menunjukan pukul 10.15 yang berarti Danice sudah telat 15 menit. Padahal Danice sendiri yang menentukan jam bertemu dengan Jaendra, yaitu pukul 10.00.

Tentu saja alasan gadis itu telat karena baju. Dirinya sampai bertanya pada Yesha dan Jiesle saking bingungnya. Percaya lah, Danice sudah berdiri lebih satu jam di depan lemari bajunya.

Tak perlu waktu lama, Danice sudah sampai ke taman VE. Tapi apa? Tidak ada Jaendra disana. Hanya ada para remaja yang sedang asik berpacaran.

“Ah, terus ngapain buru buru kalau dia aja belum dateng??” ocehnya.

Danice duduk di salah satu kursi sambil memandangi bunga bunga di taman VE. Ingin sekali rasanya Danice menelfon Jaendra, tapi karena dirinya dengan Jaendra tidak begitu dekat, jadi Danice terpaksa mengurungkan niatnya itu.


Jaendra sedari tadi menelfon Hesa untuk meminta pendapatnya tentang apa yang harus dirinya lakukan setelah bertemu Danice.

“Terus masa di mobil gue gak ada ngobrol Hes?”

“Ya ada lah, lo misal tanya-tanya atau ngobrol. tentang apa aja.”

“Tapi Hes, lo tau kan gue tuh suka tiba tiba ngeblank? Nanti kalo pas gue ngobrol sama Danice tanggepan dia bakal aneh sama gue..”

“Lo pokoknya jadi Jaendra disekolah aja dah, jangan nervous, jangan mirikin yang aneh aneh, santai aja.”

“Gue deg-degan banget liat Danice di ujung sana. Gimana ini Hes?— halo?! ah sialan si Hesa!”

Mau tidak mau Jaendra harus tetap melaksanakan niatnya kemarin. Jaendra melajukan mobilnya ke arah Danice yang sedang berdiri melihat ponselnya.

'Jaendra bisa!'

Jaendra menurunkan kaca mobilnya tepat di depan Danice. Dirinya tersenyum sebari mengatakan “Danice, sini!”

Danice menggeleng, “Lo aja yang kesini!!”

Jaendra mengangguk paham. “Iya iya, oke.” Jaendra keluar dari mobilnya, “Jepitnya ada di mobil dane, mangkanya gue suruh lo jalan ke arah gue.”

Danice menggigit bibirnya, dirinya sudah salah paham sedetik lalu. “Oh, iya..”

Jaendra tertawa pelan, “Yaudah, gue ambil dulu ya. Ntar balik lagi.”

Danice menahan jalan Jaendra dengan tangannya. Gadis itu sudah salah paham, jadi lebih baik dirinya saja yang ikut mendekat pada mobil milik Jaendra. “Gak usah! Bareng aja ya kesananya?”

Jaendra tersenyum, rencananya berjalan lancar. “Sekalian jalan jalan yuk, dane?”

jepit

Setelah siap dengan halnya, Danice berlari ke arah taman VE. Jarak rumah ke taman VE tidak begitu jauh, jadi Danice tidak memperlukan kendaraan. Jalan kaki juga bisa.

Waktu sudah menunjukan pukul 10.15 yang berarti Danice sudah telat 15 menit. Padahal Danice sendiri yang menentukan jam bertemu dengan Jaendra, yaitu pukul 10.00.

Tentu saja alasan gadis itu telat karena baju. Dirinya sampai bertanya pada Yesha dan Jiesle saking bingungnya. Percaya lah, Danice sudah berdiri lebih satu jam di depan lemari bajunya.

Tak perlu waktu lama, Danice sudah sampai ke taman VE. Tapi apa? Tidak ada Jaendra disana. Hanya ada para remaja yang sedang asik berpacaran.

“Ah, terus ngapain buru buru kalau dia aja belum dateng??” ocehnya.

Danice duduk di salah satu kursi sambil memandangi bunga bunga di taman VE. Ingin sekali rasanya Danice menelfon Jaendra, tapi karena dirinya dengan Jaendra tidak begitu dekat, jadi Danice terpaksa mengurungkan niatnya itu.


Jaendra sedari tadi menelfon Hesa untuk meminta pendapatnya tentang apa yang harus dirinya lakukan setelah bertemu Danice.

“Terus masa di mobil gue gak ada ngobrol Hes?”

“Ya ada lah, lo misal tanya-tanya gitu, tentang apa aja. Tapi jangan sampe lo nanya sesuatu yang bikin dia risih.”

“Tapi Hes, lo tau kan gue tuh suka tiba tiba ngeblank? Nanti kalo pas gue ngobrol sama Danice tanggepan dia bakal aneh sama gue..”

*“Aduh, lo pokoknya nyamanin diri lo dulu dah, jangan nervous, jangan mirikin yang aneh aneh.”*

“Gue deg-degan banget. Gimana ini Hes?— halo?! ah sialan si Hesa!”

Mau tidak mau Jaendra harus tetap melaksanakan niatnya kemarin. Jaendra melajukan mobilnya ke arah Danice yang sedang berdiri melihat ponselnya.

'Jaendra bisa!'

Jaendra menurunkan kaca mobilnya tepat di depan Danice. Dirinya tersenyum sebari mengatakan “Danice, sini!”

Danice menggeleng, “Lo aja yang kesini!!”

Jaendra mengangguk paham. “Iya iya, oke.” Jaendra keluar dari mobilnya, “Jepitnya ada di mobil dane, mangkanya gue suruh lo jalan ke arah gue.”

Danice menggigit bibirnya, dirinya sudah salah paham sedetik lalu. “Oh, iya..”

Jaendra tertawa pelan, “Yaudah, gue ambil dulu ya. Ntar balik lagi.”

Danice menahan jalan Jaendra dengan tangannya. Gadis itu sudah salah paham, jadi lebih baik dirinya saja yang ikut mendekat pada mobil milik Jaendra. “Gak usah! Bareng aja ya kesananya?”

Jaendra tersenyum, rencananya berjalan lancar. “Sekalian jalan jalan yuk, dane?”

hi

ga tau ini coba doaaanggg

hi

gatau coba doang