staersnoe

kring kringg

Gadis itu terbangun dari mimpi indahnya setelah mendengar bunyi alaram, “Apaan sih lo?? Gue lagi mimpi di ganggu! Mana gue mimpi ketemu Jihoon lagi— LOH????”

Gadis itu terkejut bukan main melihat jam yang manunjukan angka 06.10, yang berarti 20 menit lagi upacara akan segera di mulai. Kelsey dengan cepat bersiap siap, saking paniknya Kelsey sampai lupa untuk sarapan.

“Kak, kamu naik apa ke sekolah? 7 menit lagi masuk tuh!” Ucap Reina, mama Kelsey.

“Duh ma gak tau.. Kelsey lari aja gitu??”

“Ya jangan lah kak, ntar yang ada kamu di tanyain guru kenapa pagi pagi keringetan!”

Kelsey menenangkan dirinya agar tidak terlalu panik, “Ah udah lah ma, Kelsey jalan aja.. gak apa apa kok tel—” Baru saja Gadis itu ingin menutup pintu rumah dan jalan ke sekolah, di hadapannya ada lelaki yang duduk di atas motornya dengan seragam khas sekolah Kelsey.

“JEO???”

Merasa namanya terpanggil, lelaki itu mengarahkan pandangannya dan menunjukan ekspresi kesal. “Ck, gue dari tadi nungguin lo tau disini!”

“Lah ngapain lo nungguin gue?! Kenapa gak langsung ke sekolah aja?!!”

“Gue tuh tau lo bakal telat bangun, liat aja hp lo. Udah ada misscall dari gue tapi gak diangkat angkat.”

Kelsey mengerutkan dahinya, “Terus?? Apa hubungannya sama lo berdiri depan rumah gue?”

“Udah lah Key, cepetan naik!”

Kelsey menggeleng, “Gak mau! Ngapain gue naik motor lo!”

“LO MAU GUE ANTERIN KAGAK??”


“Je, cepetan kek! 3 menit lagi gerbang di tutup tau! Jangan nyanyi nyanyi!”

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya, “Nggak.”

“IHH?? LO MAU TELAT?? Sumpah Je ngebut dikit dong!”

“Gue gak mau ngebut ngebut soalnya ada lo. Biarin aja gue telat, yang penting lo selamat.”

“Gue gak mau telat Je.. gue gak mau di hukum..”

Kini Kelsey dan Javier sudah berada di sekolah, tepatnya di depan gerbang masuk. Kedua remaja itu berdiri dan hanya diam melihat gerbang itu.

Ya, mereka tidak diperbolehkan masuk oleh satpam karena telat 10 menit.

Kelsey berbalik badan dan menghela napas pasrah, “Gimana..?”

Javier tentu saja ikut berbalik setelah mendengar satu kata dengan nada bertanya dari mulut mungil Kelsey, “Iya.. gak gimana gimana, Key.”

Kelsey jongkok memeluk kakinya, gadis itu menangis.

Sejak kecil Kelsey tidak pernah terlambat sekolah, jadi hari ini bisa dibilang pertama kalinya Kelsey telat bahkan sampai tidak di perbolehkan masuk. Karena itu lah dirinya menangis.

“Loh Key... jangan nangis dong, gue kan jadi pengen nangis juga..”

“Ini kan gara gara lo! Pake nyanyi segala di motor! Malah jadi gak bisa masuk kan, Je?!”

Javier mengigit bibirnya, dirinya menjadi merasa bersalah. “Iya-iya.. maaf.. kita cari sarapan dulu yuk? Perut lo dari tadi bunyi bunyi terus. Mau ya Key?” tanya Javier sebari mengelus rambut Kelsey.

“Kelsey cantik mau makan apa? Nasi kuning? Atau apa? Terserah lo deh, gue traktir.”

Gadis dengan wajah yang masih berlumuran air mata itu menggeleng, “Mau bubur..”

Javier mengangguk pelan, lalu menyerahkan tangannya pada Kelsey, “Sini pegangan, kita cari bubur yang enak, ya?”

Bel istirahat telah berbunyi sekitar lima menit yang lalu, Kelsey yang baru selesai mengerjakan tugas dan ingin pergi ke kantin pun langsung dibuat kaget karena kantin sudah penuh oleh murid murid sekolah permata.

“Kelsey!”

Gadis yang merasa dirinya terpanggil pun menoleh, disana terlihat Javier sedang berlari ke arah Kelsey yang berdiri tepat di depan kantin.

“Kenapa diem aja disini?” tanya Javier.

Kelsey pun memutar bola matanya. “Terserah gue lah mau diem dimana.”

Javier terkekeh. “Yee santai dong, gue kan mau bikin orang iri!” Jawabnya sebari merangkul Kelsey.

Gadis yang sedang mengikat rambutnya itu menatap Javier dengan tatapan kesal. “Je?! Ngapain lo rangkul gue sih??! Gue lagi ngiket rambut malah gak bisa!”

“Ck ah, sini gue aja yang iket.” tanpa persetujuan Kelsey, Javier merebut ikat rambut milik Kelsey dan mengikatkan rambutnya,

tepat di depan pada murid yang sedang menikmati makanannya.

“Eh gila liat deh Javier sama cewek itu!! Dia ngiketin rambutnya AAAAAAA!!!!”

“Hah.?? Jadi selama ini Javier udah punya pacar?!”

“Itu ceweknya siapa sih? Beruntung banget.”

Javier kembali merangkul gadis di sebelahnya, lalu membawanya pergi dari area kantin.

“Je sumpah lo ngapain sih??” Ucap Kelsey dengan nada tidak bersahabat.

“Elah lo gak denger cewek cewek pada teriak liat kita tadi?”

“Enggak! Tujuan lo begini emang ngapain?!”

“Gak ada. Gue cuma pengen orang tau kalo lo deket sama gue,”

“Dih?! Kita gak deket ya Je! Stop sksd!”

Javier mengacak acak rambut gadis yang sedikit lebih pendek dari dirinya, “Kalo gak deket kok sering minta bantuan sama gue?”

Kelsey memutar bola matanya, “Ah terserah lo!”

“Duh lo kenapa gemes banget sih Keyy???”

“NOAH AYO BISA!!!!”

Suara sorakan sangat terdengar di seluruh tempat duduk, terutama suara gadis yang menyemangati para lelaki di bawah sana.

Sementara Kelsey di tempat duduknya hanya bisa tersenyum canggung, karena dirinya duduk di tengah tengah gadis dari sekolah lain.

Kelsey sejak tadi mencari Nala dengan melirik ke segala arah tetapi hasilnya nihil. Nala sama sekali tidak terlihat di seluruh tempat penonton.

Gadis itu menghela napas, apa yang harus ia lakukan sekarang? Pergi menunggu Javier dibawah sana? Atau hanya diam mendengar sorakan gadis-gadis? Sepertinya menunggu Javier lebih baik di banding duduk diam di tempat ini, iya kan?

Kini Kelsey sudah sampai di tempat yang sepertinya tempat beristirahat dan juga berisi peralatan para pemain.

Kelsey di perbolehkan masuk oleh pertugas karena mengatakan dirinya di suruh menunggu oleh salah satu pemain dari sekolahnya disini, padahal sebenarnya Javier tidak menunggu Kelsey. Itu hanya akal-akalan agar bisa masuk ke ruang ini, sttt!

Kebetulan tanding sudah selesai, dan skor yang di peroleh dari hasil tanding tadi adalah 4-1. Tentu saja skor 4 dimiliki oleh tim dari sekolah Kelsey!


“Je! Sumpah lo hebat bangeettt!! Sekolah kita menang! Padahal lawannya pada jago loh!” Ucap Kelsey sebari menunjukan wajah senangnya pada Javier.

Javier tersenyum, dirinya sedang membereskan barang barangnya sebelum kembali pulang ke sekolah. “Iya lah! Dikira gue cuma bisa main game doang??”

“Iya, maksudnya tuh lo hebat nyetak gol dua kali!”

Javier mengibas rambutnya, “Pasti habis ini cewek-cewek jadi pada suka sama gue, gara gara tadi.”

Kelsey memukul lengan Javier, “Alah! Jangan sok iye deh lo! Masa gitu doang jadi suka! Aneh!”

“Duh! Sakit Key! Emangnya kenapa kalo cewek-cewek suka gue? Iri ya lo? HAHAHA.” Javier tersenyum jahil.

“Iri??! NGGAK YA! Lo gak tau aja banyak yang suka gue diem diem!”

Javier terkekeh, “Gak percaya gue!”

“Yaudah kalo gak percaya!”

Terjadi keheningan di antara kedua remaja itu, Keduanya melakukan halnya masing-masing. Javier masih membereskan barang-barangnya, dan Kelsey sibuk melihat story temannya.

“Je ih kenapa lo diem aja?! Ajak gue ngobrol dong!”

“Lahh?? Harusnya lo yang ajak gue ngobrol!”

Sesuai rencana kemarin, Kelsey dan Javier akan bertemu di hari Sabtu yang cerah ini. Seperti biasa, Kelsey yang akan menghampiri Javier ke rumahnya, karena mereka akan bermain play station.

Oh iya, Jarak rumah Kelsey dan rumah Javier itu hanya beberapa langkah. Alias rumah Kelsey berada tepat di depan rumah Javier.

Tuk tuk tuk

“Jeeee!” Panggil Kelsey di luar sana. Tidak mendengar adanya jawaban pun Kelsey berniat untuk memanggil Javier kembali.

“J– eh pagi tante!” Baru saja gadis itu ingin memanggil nama Javier, pintu terbuka dan menampakan wanita paruh baya dengan celemek warna putihnya.

“Ya ampun! Kamu ngagetin tante aja, kirain ada tukang paket dateng!” Ucap Aiya—mama Javier— sebari menunjukan ekspresi terkejut.

“Hahaha tante pasti lagi mesen sesuatu yaa? Ini katanya Jeo mau main sama Kelsey, Jeonya udah bangun belum tan?” tanya Kelsey penasaran.

Aiya tersenyum, “Udah dari tadi dia bangun, Nak Kelsey. Kamu ke kamarnya aja.”

“Iya tan, Kelsey masuk yaaa.”


Kelsey kini sudah berada di depan pintu kamar Javier, gadis itu membuka kenop pintu kamar dengan penuh semangat, pasti laki-laki itu sedang bermain ponsel di ranjangnya.

“JE, AYO MAIN!! Gu– Hah....?”

Lagi lagi Kelsey dibuat terkejut dengan pemandangan yang ada di depannya. Disana ada Javier dan satu lelaki yang sedang bermain pubg dengan Javier.

“Eh lo udah dateng, baru aja gue mau chat lo Kel!” Ucap Javier girang saat melihat Kelsey masuk.

Kelsey menggigit bibirnya, “Ee.. terus kok ada.. D-dean..?”

“Gue juga ada janji sama Dean kemaren, jadi barengan aja ya mainnya.” Ujar Javier tanpa merasa bersalah.

Kelsey jelas kesal setelah mendengar jawaban Javier, karena dirinya hanya memakai piyama berwarna putih ke rumah Javier. Jika saja dirinya tahu bahwa Dean, si lelaki tampan yang banyak diserbu kakak kelas itu akan berada disini, pasti Kelsey akan bersiap-siap terlebih dahulu.

“Hai, Kelsey?”

Kelsey menghembuskan napasnya pelan, dirinya berteduh di samping pohon besar sebari mengipasi dirinya dengan kipas kecil.

MPLS berlangsung sekitar 3 jam-an. Dari jam 8 pagi sampai jam 11 siang. Ya, benar. Kelsey lelah. Karena dirinya harus mendengarkan guru sambil berdiri bersama teman-temannya di bawah terik matahari.

“Kelsey! Lo abis ini mau ngapainn?” Tanya temannya, Stephanie.

Gadis yang ditanya itu hanya bisa mengangkat bahunya dan memberikan ekspresi bingung. “Gak tau, kayaknya sih gue bakal ke kelas, Step.”

“Lo sendirian aja? Nala kemana?” Tanyanya kembali.

Stephanie menunjuk kearah kantin, “Tuh dia lagi jajan. Gue sama Nala mau makan disana, lo mau ikut gak?”

“Enggak deh Step, gak usah. Gue lagi kepanasan bangett, ntar gue susul kok.”

Gadis berambut hitam panjang itu mengangguk, “Yaudah, gue kesana ya Kel. Dadaah!!” Stephanie pergi sambil melambaikan tangannya.

Kelsey tersenyum dan membalas lambaian Stephanie. Kelsey pun langsung pergi menuju kelas dan tentu saja untuk mencari Javier.

Gadis itu mengerutkan dahinya, di kelas tidak ada orang. Hanya ada tas yang terletak di bangku masing masing meja. “Loh kok gak ada Jeo?”

Kelsey berinisiatif untuk menelpon sahabatnya itu, karena saja percuma Kelsey mencarinya, gadis itu pasti akan tersesat karena masih belum hafal dengan lokasi sekolahnya.

“Je? Lo dimana sih?! Gue udah di kelas nih!!”

“Gue lagi bareng temen gue, lo kenapa udah ke kelas aja Key? Gak pergi sama temen lo emang?”

“Enggak, mereka lagi jajan. Gue lagi gak laper Jee. Lo emang lagi dimana?”

“Di ruang futsal. Lo mau kesini?”

Kelsey mengigit bibirnya, dirinya ingin menghampiri Javier, tetapi disisi lain dirinya tidak ingin pergi ke ruangan futsal. “Pengen, tapi gue gak mau ke ruangannya..”

Javier mengangguk pelan di seberang sana “Iya nanti gue keluar kok, lo kesini aja. Lo tau kan ruangannya dimana?”

Kelsey menggeleng “Nggak..”

“Yaelah, ruangannya di paling ujung deket taman yang ada kucingnya. Tau kan?”

“Ohh tau tau, gue kesana ya Je. Lo keluar sekarang!”


Kelsey sudah melihat ujung rambut Jeo di ujung sana. Baru saja gadis berkelahiran 2004 itu ingin menyapa Javier, tiba-tiba saja ada tiga lelaki lainnya yang ikut berdiri di samping laki-laki itu.

“Je–”

Javier tersenyum. “Ini yang gue bilang temen gue, Kel.”

Sebelum itu, Kelsey dan Javier sudah pernah membuat peraturan untuk tidak memanggil dengan panggilan Key-Jeo di depan banyak orang sejak SD. Mereka tidak ingin orang lain tahu nama panggilan mereka dan berakhir mengikutinya.

Kelsey tertawa canggung, “Ah, iya.. salam kenal, gue Kelsey.. hehehe”

Ketiga lelaki itu pun dengan serentak memperkenalkan dirinya pada Kelsey.

“Gue Dean.”

“Kalau gue Arian.”

“Gue Harsa, salam kenal.”

Kelsey menanggapi teman Javier dengan anggukan pelan.

“Btw Jav, ini pacar lo?” Tanya Dean.

Mendengar ucapan Dean sedetik lalu, Kelsey dan Javier pun terkejut dan langsung menggeleng, “Nggak Den, ini temen gue. Dia temen kelas kita juga.”

Dean ber-oh ria, “Kirain gue pacar, cantik soalnya.

“Hahaha.. enggak..” Jawab Kelsey pelan.

Javier yang menyadari bahwa Kelsey tidak nyaman dan keadaan menjadi semakin canggung pun langsung menyuruh ketiga temannya untuk pergi duluan ke kantin dan meninggalkan Javier berdua dengan Kelsey.

“Ah lo mah! Harusnya bilang dong kalo temen lo itu juga ikut keluar! Gue kan jadi gak tau mau ngomong apa!”

“Gue juga gak tau, mereka bakal keluar. Padahal tadi gue udah bilang.”

Kelsey memutar bola matanya malas, “Pake dibilang pacar segala lagi! Gue kan pacar Jihoon!”

“Mending sama gue ah, Key.”

Jaendra benar benar sangat gugup sekarang, perasaannya bercampur aduk seperti sedang disidang oleh guru. Padahal yang akan ia hadapi hanya seorang gadis biasa.

Jaendra kini sudah duduk di cafe sesuai apa yang Danice katakan. Jaendra datang lebih awal karena dirinya tidak ingin membuat Danice menunggu lama.

“Nanti gue harus apa di depan Danice.. mana Hesa gak aktif lagi, ah!”

Baru saja ingin pergi ke toilet untuk menenangkan diri, ponsel Jaendra pun berbunyi.

Ting!

Danice jae lo dimana? gue udah di depan cafe

Jaendra yang melihat notifikasi ponselnya pun mengurungkan niatnya dan segera pergi menuju pintu cafe. Benar saja disana ada gadis dengan baju casual yang sangat cantik, Danice.

“Dane? Gue udah di dalem dari tadi.” Ucap Jaendra.

Danice yang sedang memainkan ponselnya pun langsung menoleh, “Loh? Kirain belum dateng! Tadi gue liat kedalem gak ada lo, tuh!”

“Kirain bakal singkat ngomongnya, ternyata enggak.” batin laki-laki berambut coklat tua itu. “Iya. Gue duduknya diujung, jadinya gak keliatan.”

“Yaudah, duduk yuk Dane.”


Keduanya sudah duduk di meja teucafe, bahkan sudah memesan minuman.

Jaendra berpikir, lebih baik dia tidak berbicara sebelum Danice mengajaknya. Karena Jaendra masih ragu, apakah Danice sudah kembali seperti biasa atau belum.

“Um.. Jae?”

Jaendra mendonggak, “Kenapa?”

“Itu.. gue mau ngomong..”

“Iya Dane ngomong aja, gue dengerin kok.” Ucap Jaendra sebari tersenyum.

Danice mengatur napasnya perlahan sebelum berbicara. “Selama ini yang kirim paket itu.. lo, ya? Dari mulai permen sampai kalung?”

Jaendra hampir sama tersedak saat meminum teh pesanannya, jadi sudah ketahuan ya? Walaupun di kertas kemarin dirinya memberikan kode yang sangat jelas, tapi tetap saja Jaendra masih terkejut.

Mau tidak mau Jaendra harus mengangguk pada Danice. “Iya Dane, gue.”

Danice kemudian menunduk melihat kalung yang ia pakai, kalung yang kemarin hari Jaendra beri. Dirinya tersenyum sambil mengatakan, “Makasih ya. Kalungnya cantik, Jae.”

“Bagus kalau lo suka, kalungnya cocok banget di pake sama lo,”

“Omong-omong tentang masalah kemarin, maaf ya Dane.” Ucap laki-laki itu menatap mata Danice dengan dalam.

Danice tersenyum kecut, “Gue juga minta maaf. Gue tiba-tiba ngilang gitu aja, gue gak mikir ada orang yang nungguin gue.”

Jaendra menggeleng kuat, kenapa malah Danice yang meminta maaf? Seharusnya dirinya, bukan Danice. “Loh kenapa lo yang minta maaf? Dane lo gak salah!”

“Disini yang salah itu gue. Karena gue tiba-tiba ngajak lo berangkat bareng, terus mention lo di akun gue. Gue ngebuat masalah lebih besar. Secara kan gue– ah lo tau lah gimana cewek cewek sama gue kan?”

Danice mengangguk pelan, “Suka.”

“Iya, suka. Jadi pas mereka denger kita berangkat bareng, malah lo yang kena. Gue gak bermaksud, Dane..”

Danice mengangguk, lagi. “Gak, Jae, gak usah merasa terlalu bersalah, gue gak apa apa kok. Lagian pasti ada aja cewek yang merasa seseorang yang dia suka itu harus sama dia, gak boleh sama yang lain. Gue sering denger kejadian kayak gitu.”

Jaendra hanya diam mendengarkan ucapan Danice. Bagaimana pun itu Jaendra merasa dirinya yang bersalah, karena ia lah yang memulai permasalahannya.

“Jae? Udah ah jangan merasa bersalah gitu.. Jaendra yang gue kenal kan gak begini..” Ucap Danice. Pandangan laki laki itu terlihat sangat sayu dan memiliki kantung mata, sepertinya ia kekurangan tidur.

“Mending kita main aja! Tentang masalah kita lupain aja, ya, ya, yaaaa??”

Sore ini gadis berambut coklat itu sedang menikmati waktunya untuk membereskan photocard miliknya sambil memutar musik di spotify.

Ini adalah rutinitas Danice selama dua minggu sekali, yaitu membereskan photocardnya. Dimulai dari membersihkan sampai menghias, dirinya melakukan ini agar photocardnya tidak berdebu jika terus dibiarkan.

Danice menghela napas pelan, lalu pergi turun kebawah dan membuat secangkir teh untuk dirinya.

Oh iya, Danice tinggal sendiri di rumahnya, karena ayah dan ibunya sedang pergi bekerja ke luar negeri dan tidak tahu kapan tanggal kepulangannya. Juga sang kakak, Danny yang sibuk dengan urusan karir dan kampusnya.

Tapi tidak apa apa, Danice jadi bisa bermalas malasan di rumah tanpa mendengar omelan yang keluar dari mulut mama.


Ding Dong!

Lamunan Danice buyar setelah mendengar bel rumah yang berbunyi.

Gadis itu berjalan ke arah pintu dane mengintip dari celah jendela rumahnya. Danice mengarahkan pandangannya ke bawah disana ada satu paket, dan laki laki dengan jaket hitam yang berjalan keluar,

Jaendra?

Danice mengerutkan keningnya, apa yang dirinya lihat itu benar benar Jaendra atau tukang paket dengan gaya rambut yang sama seperti Jaendra?

“Oh dia balik lagi kesini!” gumamnya.

Laki laki itu kembali untuk membunyikan bel rumah sekali lagi, memastikan ada orang dirumah atau tidak.

Ding Dong!

“Ada orang gak sih ini?”

Danice menjauh lalu membuka pintunya pelan. Dari jendela terlihat jelas laki laki itu terkejut lalu pergi dengan cepat.

Ah berarti tebakannya selama ini benar.

jae, ayo!

Laki-laki berambut coklat kehitaman itu sudah siap dengan motor hitam kesayangannya, pagi ini. Dirinya bahkan sudah bersiap dari jam setengah 5. Tentu saja karena seseorang yang akan ia antar sangat special baginya.

“Kak! Mau kemana pagi pagi ginii?” Tanya Jessie, adik perempuan Jaendra.

“Mau ke sekolah lah dek, ngapain lagi?” Jawabnya sebari membenarkan helmnya.

Sang adik mengerutkan dahinya, lalu pandangan matanya bergerak menuju jam tangan miliknya. “Kan masih jam 6, kenapa cepet banget? Biasanya kan kakak ke sekolah jam 7 lewat.”

Jaendra tersenyum, “Ya adalah, kamu kan tau, Jes.”

Jessie memutar bola matanya, lalu membiarkan kakaknya itu melakukan aktivitasnya.


“Pencet bel gak ya..” Gumam Jaendra.

Jaendra menghembuskan napas pelan, mungkin lebih baik untuk chat Danice saja, lagi pula masih terlalu pagi untuk membunyikan bel.

“Gue kepagian ga sih..?”

Baru saja Jaendra ingin menelpon Hesa untuk meminta saran, Danice sudah membuka pintu rumah dengan seragam lengkapnya.

cantik

“Jae, ayoo!” Panggilnya sebari berlari menuju Jaendra.

“Lo kenapa pagi banget? Untung gue udah bangun, kalo enggak gimana?”

Jaendra tersenyum melihat Danice yang mengomel. Gemes, katanya. “Iya gue sengaja Dane, biar bisa santai nikmatin udara pagi,”

“Mau gak?”

Danice mengangguk ragu, “Yaudah, ayo..”

jae, ayo!

Laki-laki berambut coklat kehitaman itu sudah siap dengan motor hitam kesayangannya, pagi ini. Dirinya bahkan sudah bersiap dari jam setengah 5. Tentu saja karena seseorang yang akan ia antar sangat special baginya.

“Kak! Mau kemana pagi pagi ginii?” Tanya Jessie, adik perempuan Jaendra.

“Mau ke sekolah lah dek, ngapain lagi?” Jawabnya sebari membenarkan helmnya.

Sang adik mengerutkan dahinya, lalu pandangan matanya bergerak menuju jam tangan miliknya. “Kan masih jam 6, kenapa cepet banget? Biasanya kan kakak ke sekolah jam 7 lewat.”

Jaendra tersenyum, “Ya adalah, kamu kan tau, Jes.”

Jessie memutar bola matanya, lalu membiarkan kakaknya itu melakukan aktivitasnya.


“Pencet bel gak ya..” Gumam Jaendra.

Jaendra menghembuskan napas pelan, mungkin lebih baik untuk chat Danice saja, lagi pula masih terlalu pagi untuk membunyikan bel.

“Gue kepagian ga sih..?”

Baru saja Jaendra ingin menelpon Hesa untuk meminta saran, Danice sudah membuka pintu rumah dengan seragam lengkapnya.

cantik

“Jae, ayoo!” Panggilnya sebari berlari menuju Jaendra.

“Lo kenapa pagi banget? Untung gue udah bangun, kalo enggak gimana?”

Jaendra tersenyum melihat Danice yang mengomel. Gemes, katanya. “Iya gue sengaja Dane, biar bisa santai nikmatin udara pagi,”

“Mau gak?”

Danice mengangguk ragu, “Yaudah, ayo..”

jae, ayo!

Laki-laki berambut coklat kehitaman itu sudah siap dengan motor hitam kesayangannya, pagi ini. Dirinya bahkan sudah bersiap dari jam setengah 5. Tentu saja karena seseorang yang akan ia antar sangat special baginya.

“Kak! Mau kemana pagi pagi ginii?” Tanya Jessie, adik perempuan Jaendra.

“Mau ke sekolah lah dek, ngapain lagi?” Jawabnya sebari membenarkan helmnya.

Sang adik mengerutkan dahinya, lalu pandangan matanya bergerak menuju jam tangan miliknya. “Kan masih jam 6, kenapa cepet banget? Biasanya kan kakak ke sekolah jam 7 lewat.”

Jaendra tersenyum, “Ya adalah, kamu kan tau, Jes.”

Jessie memutar bola matanya, lalu membiarkan kakaknya itu melakukan aktivitasnya.


“Pencet bel gak ya..” Gumam Jaendra.

Jaendra menghembuskan napas pelan, mungkin lebih baik untuk chat Danice saja, lagi pula masih terlalu pagi untuk membunyikan bel.

“Gue kepagian ga sih..?”

Baru saja Jaendra ingin menelpon Hesa untuk meminta saran, Danice sudah membuka pintu rumah dengan seragam lengkapnya.

cantik

“Jae, ayoo!” Panggilnya sebari berlari menuju Jaendra.

“Lo kenapa pagi banget? Untung gue udah bangun, kalo enggak gimana?”

Jaendra tersenyum melihat Danice yang mengomel. Gemes, katanya. “Iya gue sengaja Dane, biar bisa santai nikmatin udara pagi,”

“Mau gak?”

Danice mengangguk ragu, “Yaudah, ayo..”